4 Siasat Jaga Pengeluaran Saat Harga Daging Dkk Meroket
31 Januari 2021, 09:00:01 Dilihat: 438x
Jakarta -- Sejumlah harga pangan melonjak akhir-akhir ini mulai dari daging sapi, kedelai hingga cabai rawit merah. Harga daging sapi misalnya, tembus Rp130 ribu per kilogram (kg) dari harga sebelumnya di kisaran Rp110 ribu kg.
Bahkan, pedagang daging sapi sempat mogok mulai Rabu (20/1) kemarin, meskipun sudah mulai berdagang kembali hari ini. Lalu, harga tempe naik sekitar 25 persen akibat kelangkaan bahan baku kedelai.
Melambungnya harga bahan makanan tentunya mengancam isi dompet kita. Terlebih, bahan makanan yang naik tersebut merupakan konsumsi sehari-hari. Namun, ada sejumlah tips agar dompet isi dompet tetap aman di tengah meroketnya bahan makan tersebut, seperti dirangkum di bawah ini:
1. Efisiensi konsumsi
Perencana Keuangan dari Tatadana Consulting Tejasari Asad mengatakan solusi mendasar adalah mengurangi konsumsi bahan makanan yang mengalami kenaikan harga. Misalnya, konsumsi daging sapi yang semula dua kali seminggu dikurangi menjadi hanya sekali seminggu.
Dengan demikian, anggaran belanja bisa mencukupi meskipun terjadi lonjakan harga. Dalam keluarga, seorang ibu rumah tangga sebagai bendahara keluarga bisa berinovasi membuat menu baru dengan menggunakan bahan makanan yang sama, namun dalam jumlah lebih sedikit.
"Ada berbagai macam cara, misalnya kalau daging yang biasanya dimasak rendang, bisa dipotong-potong kecil menjadi soto, jadi beli sedikit," ujarnya kepada CNNIndonesia.com.
2. Makanan substitusi
Masih soal inovasi makanan, Tejasari menuturkan tak ada salahnya masyarakat mencoba menu makanan baru sebagai pengganti bahan makanan yang mahal harganya. Misalnya, daging sapi diganti dengan ikan atau telur.
Toh, makanan substitusi tersebut memiliki kadar gizi yang tidak berbeda jauh dengan daging sapi. Sepakat, Perencana Keuangan Finansia Consulting Eko Endarto juga menyarankan masyarakat untuk mencari bahan makanan alternatif, sehingga tidak menguras kantong.
"Ganti, substitusi sehingga tidak harus beli barang itu, tapi mensubtitusi dengan barang yang lain," katanya.
3. Buat anggaran belanja
Siasat lainnya adalah membuat anggaran belanja di awal bulan. Tejasari mengatakan anggaran belanja bisa mencegah seseorang berbelanja sembarangan, sehingga belanja sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan finansial.
Ia menuturkan dana belanja termasuk dalam pos pengeluaran rutin bersama dengan kebutuhan rutin lainnya, misal listrik, air, uang sekolah anak, dan sebagainya. Alokasi ideal untuk pos pengeluaran rutin ini sebesar 40 persen dari total pendapatan.
"Jadi, kita harus atur pengeluaran keluarga rutin ini. Jangan semuanya untuk belanja," ucapnya.
Bukan hanya anggaran belanja awal bulan, ia menyarankan masyarakat khususnya kaum hawa untuk membuat daftar barang yang akan dibeli sebelum berbelanja ke pasar. Lebih baik, jika belanja ke pasar dilakukan setiap pekan sekali, kemudian bahan makanan tersebut disimpan di dalam lemari es agar awet.
"Jadi, tidak bolak-balik ke supermarket karena kalau ke supermarket biasanya apa yang di-list berkembang, misalnya dari belanja tiga barang menjadi 10 barang," tuturnya.
Sementara itu, Eko punya rumus lain soal alokasi anggaran belanja. Menurutnya, dana belanja merupakan dana sisa setelah kebutuhan prioritas lainnya terpenuhi. Rinciannya, 30 persen dari penghasilan untuk cicilan utang maupun kredit, lalu 10 persen untuk investasi, dan 10 persen untuk proteksi.
"Sisanya, baru bisa digunakan untuk belanja," jelasnya.
4. Jangan geser anggaran lain
Eko sangat menyarankan masyarakat tidak menggeser anggaran lain untuk memenuhi kekurangan belanja harian akibat kenaikan harga bahan makanan. Caranya, kembali lagi dengan mengurangi atau mengganti bahan makanan yang harganya sedang melejit itu.
"Belanja itu bersifat konsumtif, itu tidak bersifat wajib dan memiliki penggantinya," tegasnya.
Dengan makanan pengganti itu, menurutnya tidak ada alasan untuk mengurangi anggaran pos lain. Misalnya, mengurangi jatah tabungan bulanan atau investasi bulanan demi bisa makan daging sapi. Eko juga sangat melarang masyarakat berhutang untuk memenuhi kebutuhan belanja sehari-hari.
"Biasanya, orang mengurangi tabungannya, bulan ini tidak menabung dulu karena harga bahan makanan naik. Secara praktik boleh dilakukan, tapi itu bukan tindakan yang benar dalam hal keuangan," ucapnya.
Sementara itu, Tejasari mengatakan ada pos anggaran yang bisa dipangkas untuk menambah anggaran belanja bahan makanan. Satu-satunya pos pengeluaran itu adalah pengeluaran pribadi, misalnya untuk membeli baju, make-up, tas, dan sebagainya.
Menurutnya, pengeluaran pribadi yang dialihkan ke anggaran belanja bahan makan, tidak akan mengganggu keuangan kita. Asal, kita tidak memangkas anggaran rutin seperti listrik, air, uang sekolah, dan sebagainya.
"Misalnya beli baju, perlengkapan mandi, make-up yang biasanya agak mahal, kita irit beli yang lebih murah. Jadi, cari apa (anggaran) yang bisa kita geser ke makanan," tuturnya.
Sumber : cnnindonesia.com