Uang Digital Bank Sentral, Upaya BI Bendung Bitcoin
03 Maret 2021, 09:00:00 Dilihat: 546x
Jakarta -- Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo melontarkan wacana penerbitan Central Bank Digital Currency (CBDC) untuk membendung maraknya penggunaan mata uang kripto seperti bitcoin. Nantinya, kata dia, CBDC akan diedarkan melalui perbankan maupun financial technology (fintech) baik secara wholesale maupun ritel.
Meski demikian, belum ada kejelasan kapan mata uang tersebut dapat digunakan. Pasalnya, hingga saat ini BI masih terus mengkaji berbagai opsi kebijakan agar CDBC bisa diimplementasikan.
"Bersama bank-bank sentral, kami saling studi satu sama lain untuk menyusun dan mengeluarkan, Insyaallah, ke depan Central Bank Digital Currency," ujarnya dalam acara CNBC Indonesia Market Outlook 2021, Kamis (25/2).
Sejak 2017, pemerintah dan BI memang melarang penggunaan bitcoin dan berbagai mata uang kripto lainnya sebagai alat pembayaran. Keputusan tersebut diambil karena penggunaan uang di luar kendali bank sentral dapat mengganggu stabilitas sistem pembayaran dan berimplikasi pada inflasi yang tak terkendali.
Di samping itu, pelarangan bitcoin juga tak lepas dari dukungan penggunaan mata uang kripto tersebut untuk aktivitas kejahatan seperti terorisme, pencucian uang, atau tindakan asusila.
Namun, bank sentral tampaknya menyadari bahwa pelarangan bitcoin ibarat pekerjaan menjaring angin. Oleh Itu lah, pada awal 2018, BI mulai intensif mengkaji penerbitan mata uang kripto sendiri dalam bentuk CBDC.
Ekonom Universitas Indonesia Telisa Falianty, salah satu pihak yang terlibat dalam kajian akademik mata uang tersebut, mengatakan upaya penerbitan CBDC tak hanya dilakukan Indonesia melainkan juga beberapa negara lain di dunia. Blockchain, teknologi yang mendukung mata uang kripto, disebut-sebut sebagai solusi keuangan digital yang potensial.
Salah salah bank sentral yang telah menerbitkan mata uang digital tersebut adalah Peopleâ€s Bank of China (PBOC). Pada Oktober 2019, PBOC melakukan soft launching penggunaan CBDC yang dilanjutkan dengan piloting untuk transaksi di sektor pertaniannya.
"Sejak China launching akhir 2019, makin meningkat atensi terhadap CBDC ini. Di sisi lain bitcoin kan jadi sangat populer, padahal dia sifatnya sangat volatile dan tidak ada legal tender," ucapnya saat dihubungi CNNIndonesia.com.
CBDC pun kian diakui keberadaannya oleh beberapa bank sentral di dunia. Pada akhir 2020, misalnya, Bank for International Settlements dan tujuh bank sentral lain termasuk Federal Reserve, European Central Bank dan Bank of England menerbitkan laporan yang memuat sejumlah rekomendasi atas mata uang digital tersebut.
Beberapa di antaranya, CBDC harus aman, semurah mungkin, serta tidak menggantikan uang tunai dan bentuk legal tender lainnya yang dapat merusak stabilitas moneter.
Dalam konteks ini lah, menurut Telisa, persiapan BI untuk meluncurkan mata uang digital bank sentral di Indonesia menjadi penting. "Sekarang kan dunia makin digitalize karena ada pandemi dan sebagainya, jadi kebutuhan akan digital currency ini sebagai alternatif orang bertransaksi juga meningkat. Jadi ini hal yang memang sudah sewajarnya kita siapkan," jelasnya.
Kendati demikian, Telisa memprediksi penerbitan CBDC oleh BI akan memerlukan waktu yang cukup panjang. Pasalnya, dibutuhkan kehadiran infrastruktur blockhain yang mumpuni serta didukung SDM dengan kemampuan blockchain tingkat tinggi.
"Teknologi kita tiga tahun lagi lah bisa dipersiapkan. Mungkin bisa lebih cepat dari tiga tahun. Tapi terlalu cepat juga enggak bagus karena, kan, masalahnya ada cyber risk artinya SDM nya harus benar-benar disiapkan banget," tuturnya.
Di luar itu, ada pula hal-hal non teknis seperti kesiapan regulasi yang membutuhkan waktu tak sebentar. Sebab penerapan CBDC juga mensyaratkan adanya perubahan Undang-Undang (UU) Mata Uang serta UU Bank Indonesia melalui omnibus law.
Kemudian, lanjut Telisa, BI juga harus membuat semacam regulatory sandbox untuk menguji proses bisnis hingga tata kelola penyelenggaraan CBDC. Pasalnya, mata uang kripto bersifat desentralistik dan bakal mengubah landscape perbankan yang selama ini eksis.
"Jadi perbankan harus dipikirkan peranannya. Apakah sebagai peer to peer. Karena kalau model cryptocurrency, kan, langsung enggak butuh third party dan pastinya akan memengaruhi sistem fractional reserve banking," jelasnya.
Sumber : cnnindonesia.com